Minggu, 31 Agustus 2008

Hutan di Jambi Jadi Sapi Perahan Pengelolaan Hutan

(dikutip dari Harian Umum Sinar Harapan Edisi 19 April 2005)

Hutan-hutan di Jambi tampaknya tak pernah lepas dirundung masalah. Setelah sempat beberapa areanya menjadi lahan pembalakan liar yang tak terkendali, kini beberapa kawasan di daerah provinsi tersebut dinyatakan tercemar limbah minyak dan gas, yang ditimbulkan akibat kebocoran dari perusahaan Petro China.
Luas hutan di Jambi menurut peta paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jambi memiliki luas kawasan konservasi mencapai 42,53 persen. Nilai ini setara dengan 2,17 juta hektar lebih dari luas wilayah provinsi tersebut yang mencapai sekitar 5,1 juta hektar.
Dengan bentang alam yang kebanyakan masih bisa dibilang virgin forest, rasanya layak bila provinsi ini menduduki peringkat pertama dalam jumlah luas cakupan hutan di seluruh wilayah Sumatera.
Untuk menjaga kealamiahan hutan-hutan tersebut, maka pantas bila sampai terdapat empat kawasan konservasi taman nasional di sana. Keempat taman nasional tersebut adalah Taman Nasional Berbak (TNB), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).
Namun harapan makin terjamin lestarinya sebuah kawasan, dengan diadakannya legalisasi seperti taman nasional, sepertinya tak menjadi bukti. Ini terbukti dengan kenyataan rusak beratnya sebagian kawasan di empat taman nasional tersebut lantaran perambahan dan penebangan liar.
Ini terbukti bila kita mau melihat sebentar sejarah pengelolaan hutan di provinsi tersebut. Mulanya pada awal tahun 1980-an, kayu, baik dalam bentuk kayu potong maupun bulat (log), menjadi primadona ekspor Provinsi Jambi. Pada saat itu tercatat sampai lebih dari 30 perusahaan memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sana.
Hingga menjelang tahun 2001, satu demi satu pengusaha HPH tersebut berguguran. Hingga hanya tersisa 14 perusahaan, yang salah satunya termasuk Land Grant College milik Institut Pertanian Bogor (IPB). Sekarang menjelang tahun 2003 hanya tersisa dua perusahaan HPH yang masih terbilang aktif, yaitu PT Putra Duta dan PT Asialog.
Sedangkan perusahaan penggunan hutan tanaman industri (HTI) hanya tersisa tiga, yaitu PT Wira Karya Sakti, PT Wanakasita Nusantara dan PT Wana Teladan.
Banyak Pungutan
Menyusutnya pengusaha bidang perkayuan di sana terjadi lantaran banyaknya pungutan liar di sekitar usaha tersebut. Namun yang paling jelas dimungkinkan karena semakin tipisnya kayu yang berada di hutan-hutan Jambi. Ini dimungkinkan saja, mengingat hampir tidak ada kawasan hutan di provinsi ini yang luput dari penjarahan, bahkan di kawasan taman nasional sekalipun. Sampai saat terakhir diperkirakan sekitar 30.000 hektar areal TNB sudah dinyatakan rusak, akibat tingginya intensitas penjarahan. Sementara itu di kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) di kabupaten Tanjung Jabung Timur, seluas 4.000 hektar luasan hutannya sudah habis dijarah. Di TNKS, sudah sekitar 500 hektar hutan dirambah untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit oleh PT Tidar Kerinci Agung (TKA). Sementara di TNBT, paling tidak 60.000 batang kayu bulat dihanyutkan melalui sungai Sumai setiap harinya.
Keadaan yang tidak menguntungkan secara ekonomi lingkungan tersebut. Pada kenyataannya terus berlangsung hingga kini. Ini terbukti dengan kasus baru mengenai bocornya sumur bor milik perusahaan Petro China, yang baru dirilis Antara, Senin (18/4) kemarin. Perusahaan yang berada di daerah Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur – Jambi tersebut disinyalir memiliki sumur bor yang bocor, hingga menyebabkan ratusan dan mungkin ribuan batang pohon akasia milik PT Wira Karya Sakti (WKS) mati atau meranggas.
Matinya beberapa pohon tersebut diduga akibat kebocoran yang mengakibatkan limbah gas dan minyak bertebaran. Hal ini membuat keadaan fisik tanah akan terpengaruh oleh minyak dan gas yang mengandung CH4 atau metan.

Efek Lingkungan
Menanggapi hal ini Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama, seorang pakar lingkungan akibat pertambangan mengatakan bahwa kemungkinan adanya sumur bocor pada sistem penambangan bisa saja terjadi. ”Hal ini bisa terjadi lantaran adanya pipa yang lepas atau rusaknya katup-katup yang berada di pipa tersebut,” ungkap pria yang kini menjabat sebagai Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB, saat dimintai pendapatnya pada hari yang sama.
Sebenarnya hal ini bisa dideteksi dengan adanya pengukur tekanan yang berada di tiap pipa tersebut. ”Kalau pengukur tekanannya ada yang merendah, berarti ada bagian pipa yang tak beres,” ujarnya. Dan ini bisa diketahui bila perusahaan tersebut melakukan inspeksi secara mendetail.
Sedangkan mengenai kemungkinan kerusakan lingkungan yang disebabkan kebocoran tersebut, Yoga menyatakan bahwa memang keberadaan hidrokarbon yang berlebihan bisa mengganggu tanaman dan kualitas air tanah. ”Efek pada tanah bisa terlihat pada kondisi tanah yang terlihat semakin hitam,” tukasnya. Dan hal ini juga berakibat pada kualitas air tanah yang juga akan menghitam pada bagian permukaannya, seperti layaknya minyak yang tergenang di atas cairan.
”Sedangkan mengenai CH4 atau Metan, menurut saya tidak akan berdampak langsung pada tanah dan tumbuhan,” imbuh Yoga menambahkan. Hal ini menurutnya disebabkan sifat CH4 yang langsung menguap bila terkena udara. ”Efek yang paling mencemaskan dari CH4 atau metan ini hanya terdapat pada penampakan rumah kaca,” ungkapnya.

Pertambangan
Keadaan ini secara langsung atau tak langsung diakibatkan juga oleh adanya pertambangan di daerah hutan lindung. Mengingat keberadaan Petro China yang tumpang tindih dengan kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG), di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Perusahaan minyak yang berinduk pada Perusahaan Minyak Nasional Cina (CNPC) tersebut, hingga tulisan ini dibuat belum memberikan komentar mengenai hal tersebut.
Sementara itu Dr. Hariadi Kartodihardjo, pakar masalah kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan bahwa ada atau tak adanya pertambangan di hutan lindung. Keadaan hutan di Indonesia sekarang memang sudah tak bisa dibilang layak secara lingkungan. ”Ini terbukti dari banyaknya bencana, yang ditimbulkan akibat penggundulan hutan akibat penambangan,” ujarnya, di Jakarta, pada hari yang sama. Hariadi mengungkapkan beberapa bukti mengenai hal ini. Seperti kasus di Riau. Menurutnya pada tahun 1990 kondisi riil keadaan hutan di sana mencapai 63 persen cakupan lahan. Namun itu bergerak menurun 12 tahun setelahnya, pada tahun 2002 mencapai tinggal 39 persen cakupan saja. ”Diperkirakan 2012 nanti, cakupan lahan hijau di Riau hanya tinggal 23 persen saja,” tambah Hariadi. Hal itu yang kemudian disinyalir menimbulkan banjir pada aliran Sungai Kampar hingga tahun 2003 lalu.
(SH/sulung prasetyo)

Tidak ada komentar: