Kamis, 08 Mei 2008

20.000 Ha Lahan milik PT LKU Terlantar,

Berpotensi Timbulkan Konflilk Dengan Warga

TEBO-Hasil Studi Sosial Ekonomi dan Pemanfaatan Ruang Desa Penyangga TNBD

Belum adanya batas definitif yang disepakati antar desa penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas di bagian Utara Tebo dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik. Apalagi di lokasi tersebut juga ditemukan lahan terlantar HGU HPH/HTI PT Limbah Kayu Utama (LKU) seluas 20.000 ha yang sudah 15 tahun tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Sementara masyarakat membutuhkan lahan untuk pengembangan pertanian, guna mencegah masyarakat merambah Taman Nasional.

Demikian salah satu hasil terpenting dari Studi Sosial Ekonomi dan Pemanfaatan Ruang Desa Penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang diseminarkan belum lama ini di Kabupaten Tebo. Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama antara Bappeda Kabupaten Tebo, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dan Lembaga Peneletian Universitas Jambi.

”Jika masalah ini tidak disikapi dengan baik maka akan menimbulkan situasi yang tidak baik. Apalagi adanya aturan tentang anti illegal logging jelas telah membawa dampak bagi Kabupaten Tebo, bukan hanya menyangkut soal berkurangnya PAD yang selama ini diperoleh dari hasil hutan tetapi masyarakat yang dulu berkayu kini ingin berladang atau berkebun karet namun tidak tersedia lahan sebagaimana mestinya. Sementara ada lahan luas yang terlantar,” ujar Elwan Mandri dari Lembaga Penelitian Unja, Senin (3/10), yang juga sebagai narasumber dalam workshop hasil studi itu.

Studi yang mengambil sampel di dua desa yaitu Desa Tuo Ilir Kecamatan Tebo Ilir (72 KK) dan Desa Tambun Arang Kecamatan Muara Tabir, juga mencatat adanya tiga masalah pokok yang dihadapi masyarakat dua desa itu. Pertama, tekanan tehadap hutan dan hasil hutan maksudnya masyarakat tidak lagi punya keleluasaan masuk dan mengambil kayu dari TNBD. Kedua, tekanan terhadap penguasaan lahan maksudnya masyarakat tidak mungkin lagi memiliki lahan tambahan karena sebagian besar lahan yang sana telah dikuasai toke. Ketiga, adanya ketegasan peratutan untuk tidak membolehkan pengambilan kayu illegal dalam hutan.

Sementara Pemerintah Kabupaten Tebo mengakui adanya lahan kritis di sekitar bahkan dalam area hutan dalam jumlah yang luas. Hal ini disebabkan maraknya okupasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Kondisi ini diperparah dengan adanya eksploitasi hutan yang dilakukan pengusaha hutan yang juga enggak melaksanakan kewajiban untuk merehabilitasi kawasan tersebut.

”Saat ini jumlah lahan kritis di Tebo mencapai 62.990 ha. Itu berada dalam kawasan hutan. Sementara lahan kritis di luar kawasan hutan hampir mencapai 73,16% atau seluas 46.991 ha. Berbagai upaya sudah kami lakukan untuk meminimalisir meluasnya lahan kritis ini. Namun karena keterbatasan SDM dan kemampuan, hasilnya memang sangat belum optimal,” aku Bupati Tebo Madjid Muaz, yang diwakili Asisten I Setda Tebo Buchari Mahmud.

Secara lebih lugas, Koordinator Program KKI Warsi, Robert Aritonang, mengungkapkan, memang ada ketidakseimbangan dalam pemilikan lahan di desa-desa penyangga TNBD. Namun menurutnya, lahan yang kini jadi belukar milik PT LKU dan tidak dioperasionalkan itu, harusnya bisa menjadi potensi yang baik bagi Pemda. Misalnya, dengan menjalankan pola kemitraan antara Pemda, masyarakat dan perusahaan (baru) yang dianggap layak mengelolanya.

“Kami jelas sakit hati jika pemerintah bisa memberikan kredit pada pengusaha kaya untuk mengeskploitasi kayu di lahan luas, dengan janji akan dibuat perkebunan besar namun nyatanya tidak difungsikan apa-apa. Sementara masyarakat sekitar kesulitan lahan. Pengusaha itu okang-okang kaki di Jakarta, dapat kredit, hutangnya dibebankan pada negara, negara lalu membebankannya pada rakyat. Dan masyarakat Tebo tidak dapat apa-apa, ” jelas Robert.

Berkaitan dengan keberadaan TNBD, menurutnya, sangat naif jika TNBD dianggap telah membuat miskin masyarakat sekitar. Karena masyarakat sekitar tahu benar arti TNBD. Menurutnya, yang diperlukan (kanopi)

Tidak ada komentar: